Pernikahan Dini: Memutus Masa Depan Generasi Muda

0Shares

Oleh: Jumasran

(Penghulu pada KUA Kecamatan Wawotobi Kab. Konawe)

Pernikahan dini, yang didefinisikan sebagai pernikahan yang terjadi sebelum usia 19 tahun, masih menjadi permasalahan serius di beberapa daerah di Indonesia. Fenomena ini bukan hanya melanggar undang-undang, tetapi juga membawa dampak negatif yang sangat merugikan bagi pelaku dan generasi muda.

Salah satu efek buruk pernikahan dini adalah terhentinya pendidikan. Banyak anak perempuan yang terpaksa menghentikan sekolahnya ketika menikah di usia muda. Hal ini dapat memutus akses mereka terhadap ilmu pengetahuan dan keterampilan, sehingga menghambat pengembangan potensi diri.

Selain itu, pernikahan dini juga meningkatkan risiko kesehatan, baik fisik maupun mental. Secara fisik, anak perempuan yang menikah di usia muda berisiko tinggi mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan. Secara mental, mereka rentan mengalami depresi, stres dan trauma.

Dalam kasus pernikahan dini, perempuan yang menikah di usia muda cenderung memiliki tingkat kematangan fisik dan mental yang lebih rendah. Hal ini dapat menyebabkan mereka mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan, seperti anemia, preeklampsia dan persalinan prematur. Kondisi-kondisi tersebut dapat berdampak buruk pada pertumbuhan dan perkembangan anak yang dilahirkan. Dan hal ini dapat memicu risiko timbulnya kasus stunting pada anak-anak hasil dari pernikahan dini. 

Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan upaya multi-dimensional yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, antara lain:

  1. Pendidikan dan Advokasi
    • Meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama di kalangan orang tua, tentang bahaya pernikahan dini dan stunting.
    • Mendorong pemerintah untuk memperkuat implementasi Undang-undang yang melarang pernikahan di bawah usia 19 tahun.
  2. Peningkatan Akses Layanan Kesehatan
    • Memastikan tersedianya layanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas, terutama bagi ibu hamil dan anak-anak.
    • Memperkuat program-program gizi dan imunisasi untuk mencegah stunting.
  3. Pemberdayaan Ekonomi Keluarga
    • Menyediakan akses terhadap pendidikan, pelatihan keterampilan dan dukungan keuangan bagi keluarga-keluarga rentan.
    • Mendorong keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi produktif.
  4. Kolaborasi Lintas Sektor
    • Membangun sinergi antara pemerintah, organisasi masyarakat dan sektor swasta untuk mengatasi permasalahan pernikahan dini dan stunting secara komprehensif.

Dampak lain yang tak kalah serius adalah terjadinya perceraian atau perceraian dini. Pasangan yang menikah di usia muda umumnya belum memiliki kematangan emosi dan finansial untuk menjalani bahtera rumah tangga. Perceraian pada usia muda dapat menimbulkan trauma berkepanjangan.

Untuk mengatasi permasalahan ini, dibutuhkan upaya holistik dan kolaboratif dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, hingga orang tua. Edukasi dan sosialisasi tentang pentingnya menunda pernikahan hingga usia yang matang perlu digalakkan. Seperti melaksanakan BRUS (Bimbingan Remaja Usia Dini) yang saat ini sedang digalakkan oleh Kementerian Agama khususnya KUA-KUA Kecamatan.

Remaja usia sekolah, khususnya mereka yang berada di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), merupakan kelompok yang rentan terhadap pernikahan dini. Pada usia ini, mereka sedang mengalami masa transisi yang rentan terhadap berbagai pengaruh negatif, termasuk dorongan untuk menikah di usia muda. Adapun peran penting bimbingan remaja usia sekolah ini adalah:

  1. Meningkatkan Pengetahuan dan Kesadaran
    • Memberikan edukasi tentang bahaya dan dampak negatif pernikahan dini, baik secara fisik, mental maupun sosial-ekonomi.
    • Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menunda pernikahan hingga usia yang matang.
  2. Mengembangkan Keterampilan Hidup
    • Melatih remaja untuk memiliki kemampuan berpikir kritis, pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah.
    • Membantu remaja mengembangkan keterampilan komunikasi, manajemen stres, dan pengelolaan keuangan.
  3. Dukungan Psikologis dan Sosial
    • Menyediakan konseling dan pendampingan bagi remaja yang menghadapi tekanan atau konflik terkait pernikahan dini.
    • Memfasilitasi remaja untuk terlibat dalam kegiatan positif di lingkungan sekolah dan masyarakat.
  4. Kolaborasi Lintas Sektor
    • Membangun sinergi antara sekolah, keluarga, organisasi masyarakat, dan pemerintah untuk memperkuat upaya pencegahan pernikahan dini.
    • Memastikan ketersediaan dan akses yang memadai terhadap layanan bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah.

Dengan bimbingan yang komprehensif dan berkelanjutan, diharapkan remaja usia sekolah dapat memiliki pemahaman yang baik tentang bahaya pernikahan dini, mengembangkan keterampilan hidup yang memadai serta mendapatkan dukungan psikologis dan sosial yang diperlukan. Hal ini pada akhirnya akan membantu mereka membuat keputusan yang bijak terkait pernikahan dan masa depan mereka.

Generasi muda adalah aset berharga bagi masa depan bangsa. Oleh karena itu, kita semua harus bertanggung jawab untuk melindungi mereka dari bahaya pernikahan dini dan memastikan mereka dapat tumbuh kembang secara optimal. Dengan upaya-upaya di atas, diharapkan dapat memutus rantai pernikahan dini dan stunting serta memastikan anak-anak di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

 

Referensi:

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
  2. (2021). Pernikahan Anak di Indonesia. Diakses dari https://www.unicef.org/indonesia/id/laporan/pernikahan-anak-di-indonesia
  3. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2019). Profil Anak Indonesia 2019. Jakarta: Kementerian PPPA.
  4. (2019). Laporan Situasi Anak di Indonesia 2019: Hak Anak di Era Digital. Jakarta: UNICEF Indonesia.
  5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2018. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
  6. World Bank. (2020). Stunting in Indonesia: A Persistent Challenge. Washington, DC: World Bank.
0Shares